Negara-negara di seluruh dunia akan segera menandatangani perjanjian untuk membatasi jumlah polusi plastik yang kita buat. Perwakilan dari 175 negara telah bertemu di Korea Selatan untuk membicarakan masalah sampah plastik. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan perjanjian itu diperlukan untuk membantu melindungi masa depan planet ini. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berbicara tentang betapa seriusnya masalah ini. Ia berkata: “Dunia kita tenggelam dalam polusi plastik. Setiap tahun, kita menghasilkan 460 juta ton plastik, yang sebagian besarnya segera dibuang.” PBB mengatakan perjanjian itu adalah, “polis asuransi untuk generasi ini dan generasi mendatang, sehingga mereka dapat hidup dengan plastik dan tidak dikutuk karenanya”.
Antonio Guterres memberikan peringatan tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan jika kita tidak bertindak sekarang. Ia berkata: “Pada tahun 2050, mungkin ada lebih banyak plastik daripada ikan di lautan. Mikroplastik dalam aliran darah kita menciptakan masalah kesehatan yang baru mulai kita pahami.” Presiden Korea Selatan menggemakan komentar Guterres. Ia meminta pemerintah untuk menyetujui jalan menuju nol polusi plastik. Ia berkata kita terlalu bergantung pada plastik karena sangat praktis. Ia menambahkan: “Sampah yang terkumpul di lautan dan sungai kita sekarang membahayakan kehidupan generasi mendatang.” Ia meminta pemerintah, “untuk membuka babak baru yang bersejarah dengan menyelesaikan perjanjian tentang polusi plastik”.
Laporan EIA mendesak agar negara-negara di dunia menyepakati perjanjian PBB yang mengikat untuk mengurangi produksi limbah plastik.
“Kita berhadapan dengan detik jam yang mematikan, yang terus menghitung mundur dengan cepat,” kata Tom Gammage dari EIA.
“Apabila polusi ini terus berlanjut, jumlah plastik di lautan akan melebihi berat seluruh ikan pada 2040,” tutur dia.
Perlu kesepakatan PBB
PBB mengidentifikasi tiga ancaman yang muncul dari persoalan lingkungan yang perlu diselesaikan bersama, yakni perubahan iklim, hilangnya keragaman hayati, serta polusi.
Berbagai kesepakatan multilateral terkait hilangnya keanekaragaman hayati dan lingkungan telah muncul dalam 30 tahun terakhir, meski kesepakatan itu gagal mengurangi emisi karbondioksida untuk menjaga lingkungan.
Beberapa waktu belakangan muncul usulan di sejumlah negara untuk membuat kesepakatan yang khusus menyoroti persoalan plastik.
Lebih dari 100 negara, termasuk Inggris, mendukung perjanjian tersebut diusulkan pada Majelis Lingkungan PBB pada Februari dan Maret mendatang.
Sejumlah sumber mengatakan sikap beberapa pihak yang menentangnya juga melemah, meski masih ada perdebatan mengenai seberapa ketat perjanjian itu. Misalnya, apakah perjanjian itu akan mengikat secara hukum atau bersifat sukarela.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, juga telah mengumumkan bahwa AS mendukung kesepakatan global terkait plastik yang sebelumnya ditentang oleh pendahulunya, Donald Trump.
Tetapi, belum jelas apakah Biden bisa mendapat dukungan kongres terkait hal itu, sebab sebagian besar plastik terbuat dari minyak dan gas, dua komoditas yang diproduksi di AS.
Sementara itu, Jepang dilaporkan mencoba mengurangi target dari perjanjian tersebut, sedangkan negara-negara Arab dan China belum bersuara sejauh ini.
China merupakan negara yang paling banyak memproduksi plastik murni, meskipun AS dan Inggris lah yang menjadi produsen sampah terbesar per orang.